Senin, 27 April 2009

Jangan Pernah Kehilangan Harapan

KRISIS ekonomi berkepanjangan yang diikuti dengan kegagalan sejumlah
aspek dari gerakan reformasi tampaknya mulai membuahkan pesimisme
rakyat Indonesia akan masa depan bangsa. Orang menjadi kehilangan
harapan, bahkan khawatir mengenai eksistensi Indonesia sebagai
sebuah negara bangsa.

Deretan pertanyaan bisa terus bertambah dan rasa lelah itu akan
semakin menjadi jika yang terbentang di depan mata hanyalah sisi
gelap bangsa. Di saat itulah keputusasaan akan muncul, yang berarti
berakhirlah sudah makna kita sebagai bangsa.

Mungkin ada baiknya kita mulai menengok ke sekeliling, mencoba
mencari sinar pelita seredup apa pun. Banyak orang tak menyadari
kehadiran pelita-pelita kecil itu karena yang didambakan adalah
sinar terang gemerlap yang tak kunjung menyala.

DI sekeliling kita sebetulnya masih banyak individu-individu yang
diam-diam berbuat sesuatu, menelurkan karyanya tanpa harapan pujian
atau imbalan. Boleh jadi nama mereka hanya dikenal di komunitas
kecilnya. Tak ada lomba atau kompetisi yang mempertarungkan
kemampuan mereka.

Kita tengok Trisno Suwito, pria berusia 60 tahun, warga Dusun
Plarung, Desa Sawahan, Kecamatan Ponjong, Gunung Kidul, DI
Yogyakarta, yang begitu telaten mengumpulkan berbagai umbi langka
untuk dikembangbiakkan. Umbi-umbian-yang pada tahun 1960-an menjadi
penolong rakyat saat musibah kekeringan dan kelaparan datang-kini
memang mulai dilupakan orang, bersamaan dengan diperkenalkannya
penanaman padi.

"Padahal, bapak saya bilang, 'Kalau kamu tetap menanam umbi, ketika
ada kelaparan lagi, kamu tidak akan mati'," kata Trisno, anak Noyo
Semito, petani miskin di dusun itu. Menjelang akhir hayatnya tahun
2000, Noyo memintanya untuk menyelamatkan umbi-umbian langka dan
menanamnya kembali di ladang.

Untuk mendapatkan umbi- kini Trisno dapat mengumpulkan sekitar 150
jenis umbi-setiap hari ia harus meniti bukit cadas tajam di sekitar
desanya. Kadang kala ia temukan bibit di sela batu cadas, tinggal
sebatang dan hampir mati.

Koleksi Trisno saat ini antara lain adalah gembili jempina
(Dioscorea sp), gembili wulung/ungu (Dioscorea sp), umbi senggani
ulo yang bentuknya mirip ular melingkar, umbi legi, compleng
(Amorphopallus sp), coklok, katak (Dioscorea pentafolia), dan
beberapa jenis ganyong (Kanna edulif).

Tentang koleksinya itu, Trisno yang tidak tamat pendidikan sekolah
dasar (SD) hafal betul cirinya masing-masing, mulai dari bentuk
daun, batang, duri, sampai bagaimana cara mengolahnya-terutama untuk
umbi beracun-agar aman dikonsumsi. Bagi Trisno, mengumpulkan umbi-
umbian seperti mengumpulkan harta karun.

"Untuk generasi sekarang dan yang akan datang," kata Trisno yang
sangat senang jika ada mahasiswa, kandidat doktor, atau peneliti
datang bertanya atau bahkan meneliti koleksinya. "Saya merasa usaha
keras saya dihargai," ungkapnya.

SERUPA dengan Trisno, Hadi Jatmiko juga bisa dibilang pelestari alam
kecil-kecilan. Kakek berusia 72 tahun ini gemar menanam bibit jati
di tanah kosong yang berjarak 500 meter dari rumahnya. Warga Dusun
Jetis Kaliurang, Desa Sumber Agung, Kecamatan Moyudan, Kabupaten
Sleman, ini sampai rela menjual kolam lele dan hasilnya habis
dibelikan bibit jati. Ia pun rela "didiamkan" sang istri, yang
menganggapnya sudah gila.

Tak kurang dari 4.000 bibit jati yang dibeli di Ngawi ditanam di
tanah kosong tak produktif seluas 4.000 meter persegi. Padahal,
untuk memperoleh tanah itu, ia harus membeli dengan pinjaman bank
sebesar Rp 6 juta. Jaminannya hanya surat keterangan pensiunan
pegawai negeri golongan II B.

Filosofi Hadi sederhana. Menanam jati sama saja belajar tentang
kesejatian hidup karena hasilnya tak akan bisa dinikmati si penanam
melainkan keturunannya. "Kalau tanah dibiarkan penuh semak belukar,
sampai 20 tahun pun tetap jadi semak. Tetapi, kalau ditanami jati,
20 tahun lagi akan bernilai tinggi," katanya.

Apa yang dirintis Hadi ternyata menular pada tetangganya. Mereka pun
kini rajin menanam lahan kosong tak produktif dengan pokok jati
sehingga di dusunnya terbentuk Kelompok Tani Jati Lestari. Dalam
waktu empat tahun, kelompok ini beranggotakan 20 orang dan telah
menanam 49.000 batang jati. Hadi pun kini makin kerap diminta
menanam jadi di wilayah lain di Jawa Tengah, Jawa Timur, bahkan
sampai Sumatera Utara. Total tanah yang ditanami jati olehnya sampai
50 hektar.

SEMENTARA itu, di Karimunjawa, Jawa Tengah, nama Ismarjoko Budi
Santoso (38) dikenal sebagai orang bersungguh-sungguh yang
melestarikan penyu. Untuk urusan penyu yang sangat dilindungi ini
sekurangnya telah ada tiga peraturan hukum yang memayunginya. Undang-
Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
mengancam penangkap penyu dengan hukuman lima tahun penjara dan
denda Rp 100 juta. UU ini lantas diterjemahkan dalam Peraturan
Pemerintah (PP) No 7/1999 tentang Penyu Hijau sebagai Satwa
Dilindungi dan Surat Keputusan Menteri Kehutan No 882 /Kpts/II/92
yang mengatur perlindungan penyu pipih dan penyu sisik.

Namun, aturan hukum hanyalah urusan hitam di atas putih. Yang
terjadi di lapangan sendiri adalah persoalan hukum pasar. Daging dan
telur penyu dicari orang untuk dikonsumsi, begitu juga karapas alias
batok yang biasa dipakai sebagai suvenir.

Hati Ismarjoko-yang sehari- hari berprofesi sebagai nelayan
sekaligus pengumpul ikan- pun belakangan tergerak. Di satu sisi, ia
ingin menyelamatkan penyu dari kepunahan, tetapi di sisi lain ia
berniat membantu sesama nelayan. Dengan modal pas-pasan, ia pun
membangun bak pembesaran tukik (anak penyu) berukuran 1,5 meter x 1
meter yang diisi air laut.

Supaya para nelayan bersedia melepas telur penyu yang dimiliki,
Ismarjoko membelinya dengan harga dua kali lipat dari harga pasar.
Meski tidak mudah menetaskannya di alam bebas- "Pernah tahun 2000
saya membeli 260 telur, sebanyak 124 butir di antaranya gagal
menetas," ujarnya pasrah-Ismarjoko tak patah semangat. Padahal, ia
juga tahu, daya hidup tukik sangat rendah. Dari 1.000 tukik, paling
hanya satu atau dua ekor yang bisa terus menjadi dewasa, suatu
perjalanan yang membutuhkan waktu sampai 30 tahunan.

Tukik yang berusia 6-12 bulan itu kemudian harus dilepaskan ke laut.
Sejak tahun 2000, tak kurang dari 700 tukik dikembalikan Ismarjoko
ke habitatnya kendati ia menargetkan bisa meningkat sampai 300-500
anak penyu setiap tahunnya. "Pelepasan penyu seharusnya bisa menarik
wisatawan karena artinya kita ikut terlibat dalam pelestarian
penyu," ujarnya menambahkan.

BETAPA besar pengabdian pelita-pelita kecil pada umat manusia bisa
dilihat dari kesederhanaan dan sikap tanpa pamrih mereka. Tangan
menghadap ke bawah, bukan menengadah ke atas. Artinya, menyumbangkan
kemampuan diri lebih penting daripada meminta-minta bantuan orang.

Hermawati (48), misalnya, selama sepuluh tahun terakhir mendirikan
sekolah, SD Tunas Nelayan, sekaligus menjadi guru bagi murid-
muridnya tanpa bayaran sepeser pun. Di sebuah pulau kecil berukuran
empat kilometer persegi, Pulau Burung-terletak 10 menit perjalanan
dengan speedboat dari Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan
Selatan- ia membangun "kandang sekolah" berukuran 3 meter x 6 meter.
Dengan dinding papan, atap rumbia berlubang-lubang, dan lantai tanah
yang setiap saat siap ambruk, sekolah yang dipimpin Hermawati ini
lebih mirip kandang ternak daripada kelas belajar.

Ruangan itu disekat menjadi tiga kelas kecil yang menampung murid
dari kelas 1 hingga kelas 5 sebanyak 35 orang. Tak heran jika jam
belajar pun digilir masing-masing satu jam. Maklum, gurunya hanya
satu, Hermawati sendiri.

"Saya sebenarnya bukan guru, saya hanya sekolah sampai sekolah
rakyat. Setelah membangun sekolah ini, saya memang sempat ikut Kejar
Paket B," ujar Hermawati. Adapun yang mendorongnya membangun sekolah
tak lain karena kasihan melihat nasib anak- anak nelayan yang tidak
bisa membaca dan menulis. "Zaman sudah maju, tetapi kami semakin
terbelakang," katanya.

Sementara tak mungkin untuk menarik uang SPP apalagi uang "gedung",
Hermawati pun kelabakan membantu belajar anak-anaknya dalam soal
buku pelajaran. Suatu kali ia pernah mengajukan proposal ke berbagai
kantor pemerintah agar mereka dibantu dengan buku- buku pelajaran,
tetapi tak sedikit pun tanggapan datang. Yang lebih memusingkan,
murid-muridnya yang hendak melanjutkan ke kelas 6 SD ternyata
mengalami kesulitan untuk pindah sekolah karena kualitasnya dianggap
tak memadai. Kenyataan ini sungguh menyakitkan anak-anak Pulau
Burung. Mereka hanya bisa melanjutkan pelajaran di sekolah madrasah.

MIRIP dengan kisah Hermawati, apa yang dilakukan Ibe Karyanto (41)
di pinggiran Kali Malang, Jakarta Timur, secara total hanya
diperuntukkan bagi anak-anak jalanan. Begitu totalnya hingga nyaris
tak ada harta benda pribadi yang layak untuk dirinya sendiri. Ibe
tinggal bersama sekitar 80 anak jalanan selama 24 jam. Ruang
pribadinya hanya kamar di barak berdinding kayu bekas. Ranjangnya
dilapisi selembar kasur tipis. Harta "termewah" hanya kendaraan jip
Toyota Hardtop butut keluaran tahun 1974.

Bersama dengan Sanggar Akar, ia menggerakkan dukungan banyak orang-
termasuk pemusik, pematung, pembuat film, guru, dan mahasiswa-untuk
kelangsungan hidup anak-anak termarjinalkan ini. Mereka membantu Ibe
untuk mengajar musik, teater, menyablon, membuat patung, dan lain-
lain. Sehari-hari Ibe mendampingi anak-anak itu hingga pukul 03.00
tanpa hari libur.

Sejak awal Ibe memang menggunakan pendekatan kesenian untuk mendidik
anak- anak jalanan itu. Hasilnya lumayan, generasi pertama mereka
kini sudah bisa menjadi andalan aktivitas sanggar. Bahkan, ada tujuh
anak didik Ibe yang melanjutkan studi ke perguruan tinggi dan
mengambil bidang seni rupa, musik, desain, serta bahasa Inggris.

Dari orang-orang semacam Ibe, Hermawati, Hadi, Trisno, atau
Ismarjoko sebenarnya Indonesia bisa berharap masih ada masa depan
yang cerah di depan kita. Jangan pernah kita kehilangan harapan itu.